-->

Model kehidupan di Pondok Pesantren

Setelah anak-anak tamat mengaji Al-Qur’an, sebagian dari mereka meneruskan pendidikannya ke tingkatan pendidikan yang lebih tinggi, yaitu pengajian kitab.

Tempat pengajian kitab berada di Pesantren. Pendidikan ini di kategorikan dengan jenis pendidikan tingkat lanjutan. Pendidikan tingkat lanjutan pun berjenjang-jenjang menurut spesialialisasi ilmu dan keahlian gurunya.


Wilayah jawa mengenal adanya pesantren desa dan pesantren keahlian. Hal yang biasa terjadi, bahwa seorang kiai atau guru mengaji yang terkenal kealimannya didatangi oleh para murid dari berbagai daerah. Mereka yang berasal dari daerah yang sangat jauh, tentu membutuhkan tempat tinggal selama masa belajar. 

Oleh karena itu di sekeliling rumah guru kemudian dibangun tempat tinggal dan tempat ibadah. Para murid hidup di bawah bimbingan seorang kiai atau guru mengaji di lingkungan tersebut. Tatanan pendidikan seperti ini di kenal di Jawa dengan sebutan Pondok Pesantren. Sedangkan di Sumatra Barat dikenal dengan sebutan sistem Zawiyah.

Baca Juga : Sejarah Pondok Pesantren dan Perkembangannya.

Kedua sistem tersebut memiliki kesamaan, yaitu menciptakan iklim kebersamaan hidup Antara murid dengan gurunya dalam satu lingkungan yang menyatu. Kiai dibantu oleh para guru dari kalangan santri sendiri dalam menjalankan fungsi sebagai pimpinan pesantren. Para guru tersebut dinamakan guru bantu. 

Kiai atau guru hanya mengajar para guru bantu. Sedangkan guru bantu bertugas mengajar murid pemula secara bergiliran karena julahnya banyak. Pembagian tugas Antara kiai dan guru bantu juga disesuaikan dengan penerapanmetode pembelajaran. Ada dua metode yaitu sorogan dan wetonan atau bandongan. Metode sorogan diterapkan pada santri yang rendah. Mereka seorang demi seorang membawa kitabnya maju menghadap guru masing-masing. 

Guru membacakan salah satu kalimat dalam Bahasa arab, kemudian santri harus menerjemahkan dan menerangkan maksud kalimat tersebut. Aktivitas santri dalam metode tersebut adalah menyimak kitab dan memberikan tanda-tanda khusus secara langsung pada teksnya. Keterampilan memberi tanda ini di sebut ngesahi.

Para santri yang sudah mampu mengikuti pelajaran dari seorang kiai akan duduk berkumpul mengitari kiai. Ketika kiai tersebut membaca kitab, santri memberikan tanda pada kitabnya metode ini disebut dengan wetonan atau bandongan. Di Sumatra di kenal dengan metode halaqah.

Dalam proses pembelajaran wetonan atau bandongan, kiai memberikan pelajaran terus-menerus. Setiap kali tatap muka, kiak selalu menyuguhkan pelajaran baru. Namun ia jarang mengevaluasi tingkat pemahaman santrinya. Para santri pun pada umumnya sangat jarang melakukan Tanya-jawab dengan kiai. 

Baca Juga : Doa dan Zikir Meminang Wanita.

Tanya-jawab dengan kiai hanya dilakukan oleh santri yang penguasaan pelajrannya sudah benar-benar tinggi. Sedangkan santri yang biasa-biasa saja merasa cukup bertanya kepada guru bantu. Disinilah diketahui bahwa hubungan antara santri dengan kiai dan guru bantu pada umumnya bercorak ketaatan tanpa batas.

Ketaatan yang demikian itu sangat kondusif bagi tumbuhnya sikap taklid. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa seseorang murid  yang baru masuk pesantren tidak serta merta belajar pada kiai,kecuali bila ia memang telah sanggup mengikuti pembelajarannya.

Kesanggupan seorang santri belajar pada kiai dilihat pada kemampuanya untuk memahami teks arab. Tentu saja untuk sampai pada kesanggupan tahapan tersebut diperlukan waktu yang lama dan melewati berbagai kesulitan. Oleh karena itu muncul penilaian bahwa cara belajar seperti ini sangat minim, dan prosesnya sangat lambat pula, walaupun tetap memberikan hasil.      

0 Response to "Model kehidupan di Pondok Pesantren "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel