-->

HUKUM-HUKUM SEPUTAR ORANG YANG BERPUASA


1. Hukum-Hukum Seputar Orang yang Berpuasa

A. Pembatal Puasa

Para ulama telah menyebutkan dalam berbagai kitab fiqih mereka beberapa pembatal puasa, yaitu:

1. Jima’

2. Mengeluarkan mani dengan sengaja

3. Makan dan minum dengan sengaja

4. Segala sesuatu yang semakna dengan makan dan minum

5. Muntah secara sengaja

6. Keluar darah haidh dan nifas

Pembatal-pembatal puasa ini tidak membatalkan puasa seseorang kecuali dengan tiga syarat:

Pertama: Orang yang berpuasa mengetahui hukum dari pembatal-pembatal puasa ini.

Kedua: Dalam keadaan ingat, tidak karena lupa.

Ketiga: Sengaja dan atas kehendak dirinya sendiri.

- Apabila ada yang muntah dengan sengaja karena mengira bahwa muntah dengan sengaja tidak membatalkan, maka puasanya sah tidak batal. Dalilnya Alloh berfirman:

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّـهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَـكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّـهُ غَفُورًا رَّحِيمًا 

Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.

Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Ahzab/33:5)

- Apabila ada yang makan dan minum setelah fajar, karena dia mengira fajar belum terbit atau makan dan minum karena mengira matahari telah terbenam, kemudian setelah itu jelas baginya bahwa fajar telah terbit dan matahari belum terbenam, maka puasanya sah tidak batal. Karena dia jahil akan waktu. Asma’ Binti Abi Bakar berkata: “Kami pernah berbuka puasa pada zaman nabi pada hari yang mendung, kemudian setelah itu ternyata matahari masih terbit”. (HR.Bukhari 1959 )

Nabi tidak memerintahkan untuk mengganti puasa mereka, maka orang yang jahil akan waktu puasa, puasanya sah tidak batal.

- Apabila ada yang makan dan minum karena lupa, maka puasanya tidak batal. Alloh عزّوجلّ berfirman:

وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا  أَنتَ مَوْلَانَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ 

“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. (QS.al-Baqarah/2: 286).

- Apabila seseorang tidur, kemudian disiram air hingga masuk mulutnya, maka puasanya tidak batal, karena masuknya air ke mulut bukan kehendak dirinya.

B. Berbuka Puasa Secara Sengaja??

Berbuka puasa secara sengaja pada bulan Ramadhan tanpa alasan yang syar’i adalah perbuatan dosa besar. 

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

Ketika aku sedang tidur, tiba-tiba datang kepadaku dua orang yang kemudian memegang bagian bawah ketiakku dan membawaku ke sebuah gunung yang terjal. Keduanya berkata, “Naiklah”. Aku menjawab: “Aku tidak mampu”, keduanya berkata, “Baiklah, akan kami bantu engkau”. 

Akhirnya aku naik juga, tatkala aku sampai pada pertengahan gunung, aku mendengar suara yang sangat mengerikan, aku bertanya: “Suara apa ini?” keduanya berkata: “Itu teriakan penduduk neraka”. 

Kemudian aku dibawa lagi, dan aku melihat sekelompok orang yang kaki-kaki mereka digantung, tulang rahang mereka dipecah, darah mengalir dari tulang rahang mereka.1 Aku bertanya: “Siapakah mereka itu?” Keduanya menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum waktunya”.

Hadits ini adalah dalil yang sangat jelas akan besarnya dosa orang yang berbuka puasa Ramadhan secara sengaja tanpa udzur. Bahkan hadits ini menunjukkan berbuka puasa tanpa udzur termasuk dosa besar.

Imam adz-Dzahabi berkata: “Dosa besar yang ke sepuluh adalah berbuka puasa pada bulan Ramadhan tanpa ada udzur dan alasan”.

Perhatian:
Hadits yang berbunyi

مَنْ أَفْطَرَ مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صَوْمُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ

Barangsiapa tidak berpuasa di bulan Ramadhan tanpa ada udzur atau sakit, maka dia tak dapat ditebus dengan puasa setahun sekalipun dia berpuasa.

Adalah hadits yang lemah menurut timbangan ahli hadits.

C. Puasanya Orang yang Diberi Udzur

Alloh berfirman:

 وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى? سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّـهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّـهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ 

Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS.al-Baqarah/2: 185).

1. Musafir

Orang yang musafir (bepergian jauh) ada tiga keadaan:

Pertama: Jika berpuasa sangat memberatkannya, maka haram baginya berpuasa. Tatkala fathu makkah, para sahabat merasakan sangat berat dalam berpuasa. Akhirnya Rasulullah berbuka, akan tetapi ada sebagian sahabat yang tetap memaksakan puasa. Maka Rasulullah pun berkata: “Mereka itu orang yang bermaksiat, mereka itu orang yang bermaksiat”.

Kedua: Jika berpuasa tidak terlalu memberatkannya, maka dibenci puasa dalam keadaan seperti ini, karena dia berpaling dari keringanan Alloh, yaitu dengan tetap berpuasa padahal dia merasa berat walaupun tidak sangat.

Ketiga: Puasa tidak memberatkannya. Maka hendaklah dia mengerjakan yang mudah, boleh puasa atau berbuka. Karena Alloh عزّوجلّ berfirman:

رِيدُ اللَّـهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.(QS.al-Baqarah/2: 185).

Baca Juga: Bulan Ramadhan

2. Orang yang Sakit

Orang yang sakit terbagi menjadi dua golongan:

Pertama: Orang yang sakitnya terus menerus, berkepanjangan, tidak bisa diharapkan sembuh dengan segera seperti sakit kanker, maka dia tidak wajib puasa. Karena keadaan sakit seperti ini tidak bisa diharapkan untuk bisa puasa. Hendaklah ia memberi makan satu orang miskin sebanyak hari yang ditinggalkan.

Kedua: Orang yang sakitnya bisa diharapkan sembuh, seperti sakit panas dan sebagainya. Maka orang yang sakit seperti ini tidak lepas dari tiga keadaan.

Puasa tidak memberatkannya dan tidak membahayakan. Wajib baginya untuk puasa, karena dia tidak punya udzur.

Puasa memberatkannya akan tetapi tidak membahayakan dirinya, dalam keadaan seperti ini maka dibenci untuk puasa. Karena apabila puasa berarti dia berpaling dari keringanan Alloh عزّوجلّ, padahal dirinya merasa berat.

Puasa membahayakan dirinya, maka haram baginya untuk puasa. Karena apabila puasa berarti dia mendatangkan bahaya bagi dirinya sendiri. Alloh berfirman;

وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ  إِنَّ اللَّـهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا 

Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa/4: 29)

Untuk mengetahui bahaya atau tidaknya puasa bagi yang sakit, bisa dengan perasaan dirinya kalau puasa akan berbahaya, atau atas diagnosa dokter yang terpercaya. 

Maka kapan saja seorang yang sakit tidak puasa dan termasuk golongan ini, hendaklah dia mengganti puasa yang di tinggalkan apabila dia sudah sembuh dan sehat. Apabila dia meninggal sebelum dia sembuh maka gugurlah utang puasanya. 

Karena yang wajib baginya adalah untuk mengqadha puasa di hari yang lain yang dia sudah mampu melakukannya, sedangkan dia tidak mendapati waktu tersebut.

Baca Juga: Bulan Sya'ban

3. Wanita Hamil dan Menyusui

Wanita hamil dan menyusui ada tiga keadaan:

Pertama: Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya saja, maka boleh baginya berbuka dan wajib mengqodho (mengganti) di hari yang lain kapan saja sanggupnya menurut pendapat mayoritas ahli ilmu, karena dia seperti orang yang sakit yang khawatir terhadap kesehatan dirinya. Alloh عزّوجلّ berfirman:

فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ  وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ  إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ 

Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS.al-Baqarah/2: 184).

Imam Ibnu Qudamah رحمه الله mengatakan, “Walhasil, bahwa wanita yang hamil dan menyusui, apabila khawatir terhadap dirinya, maka boleh berbuka dan wajib mengqodho saja. Kami tidak mengetahui ada perselisihan diantara ahli ilmu dalam masalah ini, karena keduanya seperti orang yang sakit yang takut akan kesehatan dirinya.

Kedua: Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya dan anaknya, maka boleh baginya berbuka dan wajib mengqodho seperti keadaan pertama.

Imam an-Nawawi رحمه الله mengatakan: “Para sahabat kami mengatakan: “Orang yang hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya maka dia berbuka dan mengqodho, tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit, dan semua ini tidak ada perselisihan. 

Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya membahayakan dirinya dan anaknya demikian juga dia berbuka dan mengqodho tanpa ada perselisihan.

Ketiga: Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan kesehatan janin atau anaknya saja, tidak terhadap dirinya, maka dalam masalah ini terjadi silang pendapat diantara ulama hingga terpolar sampai enam pendapat. 

Yang lebih mendekati kebenaran dalam masalah ini adalah bahwa wanita hamil dan menyusui apabila dengan puasanya khawatir membahayakan kesehatan janin atau anaknya saja, maka dia boleh berbuka dan wajib mengqodho serta membayar fidyah. 

Wajib mengqodho menurut pendapat kebanyakan ulama, karena keduanya mampu untuk mengqodho, dan tidak ada dalam syariat ini menggugurkan qodho bagi orang yang mampu mengerjakannya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa wanita hamil dan menyusui-pada keadaan ketiga ini- wajib mengqodho pada waktu dia mampu.

Adapun fidyah karena mereka termasuk keumuman ayat:

 وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ  فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ  وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ  إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (QS.al-Baqoroh/2: 184).

Berdasarkan zhohir ayat ini keduanya wajib membayar fidyah. Yang menguatkan hal ini juga perkataan Ibnu Abbas رضي الله عنهما tatkala mengatakan: “Adalah keringanan ayat ini bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta yang berat berpuasa, bagi mereka untuk berbuka dan memberi makan seorang miskin demikian pula wanita hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir-Abu Dawud berkata: “Yaitu khawatir terhadap kesehatan janin dan anaknya saja”- mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin”.

Ibnu Umar رضي الله عنهما pernah ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya? beliau menjawab: “Hendaklah berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari yang ditinggalkan”.

Ibnu Qudamah رحمه الله mengatakan: “Tidak diketahui ada yang menyelisihi keduanya dari kalangan sahabat”.

Inilah pendapat yang lebih berhati-hati. Dipilih oleh Hanabilah, dan yang masyhur dari kalangan as-Syafi’iyyah. Pendapat ini dikuatkan oleh Mujahid, diriwayatkan pula dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas dan Atho bin Abi Robah. Disetujui pula oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Wallohu A’lam.


Faedah:

Dalam sebuah Muktamar kedokteran yang digelar di Kairo pada bulan Muharram 1406 H dengan tema “Sebagian perubahan kimiawi yang bisa ditimbulkan dari puasanya wanita hamil dan menyusui” demi menjawab pertanyaan yang kerap muncul apakah puasa berpengaruh terhadap wanita yang hamil dan menyusui. 

Setelah melalui penelitian para dokter ahli disimpulkan bahwa tidak ada bahaya bagi wanita hamil dan menyusui untuk berpuasa di bulan ramadhan.

0 Response to "HUKUM-HUKUM SEPUTAR ORANG YANG BERPUASA"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel