-->

PELAJARAN 3 : Cita-citaku Menjadi Anak yang Sālih

Apakah kamu pernah mendengar ada orang bercita-cita menjadi anak Sālih? Biasanya kalau ada anak ditanya “Apa cita-citamu Nak?”. Jawabannya selalu saja “menjadi dokter” atau “menjadi insinyur”, atau “menjadi pilot”. Nah, pelajaran ini menampilkan sesuatu yang baru, yang dipelopori oleh seorang anak bernama Amin. Si Amin bercita-cita menjadi anak Sālih. Walaupun kelak menjadi dokter, tetapi harus menjadi dokter yang Sālih, atau insinyur yang Sālih, dan pilot yang Sālih. 
Apa arti “cita-cita” itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cita-cita adalah “keinginan (kehendak) yang selalu ada di dalam pikiran, berkeinginan sungguh-sungguh”. 
Nah, demikianlah si Amin, selalu saja dalam pikirannya berkeinginan menjadi anak Sālih.
Kemudian, siapa yang dinamakan anak Sālih itu? Apa ciri-cirinya?  
Sālih artinya baik. Anak Sālih berarti anak yang baik. Di antara ciri-ciri anak Sālih adalah taat kepada Allah Swt., jujur, hormat dan patuh kepada orang tua, hormat dan patuh kepada guru, setia kepada kawan, serta menghargai sesama. 

A. Orang Jujur Disayang Allah


Apakah kamu ingin disayang Allah Swt.? 
Jawabannya, tentu saja “ya”.
Pertama, jujur kepada Allah Swt. Ciri-cirinya selalu mentaati  perintah Allah Swt. di mana pun dan kapan pun. Lihat gambar di atas ini anak salih sedang beribadah.


Kedua, jujur kepada diri sendiri. 
Pada saat melakukan inspeksi mendadak di SD Negeri 10 Pagi, Jakarta, pada hari Senin (6/5/2013), pak Nuh berkata:“Saya berharap para guru menjalankan tugasnya dengan baik. Anak-anak juga dapat konsentrasi dan mengerjakan soal dengan jujur.” Siapa pak Nuh? Pak Nuh adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pak Nuh berharap sikap jujur harus dibiasakan, karena kejujuran dapat meningkatkan prestasi dan percaya diri.

Bagaimana dengan ketidakjujuran?
Perilaku tidak jujur dapat mendatangkan petaka. Contoh, bagi siswa yang menyontek ketika ujian, mereka akan dinyatakan tidak lulus.


Ketiga, jujur kepada orang lain. 
Semua orang pasti pernah berjanji. Misalnya, seorang siswa berjanji kepada bapak/ibu gurunya akan menyerahkan tugas PR pada hari dan tanggal tertentu. Bila siswa tersebut memenuhi janjinya, maka gurunya akan senang dan memberikan pujian. apa yang terjadi jika siswa tersebut tidak menempati janjinya, maka guruny pasti akan kecewa pada siswa tersebut dan menganggap anak tersebut tidak bisa di percaya.

Sikap Kebiasaanku: 
InsyaAllah aku selalu bersungguh sungguh dan bersikap jujur agar disayang Alllah Swt.

B. Hormat dan Patuh kepada Orang Tua dan Guru


1. Hormat dan Patuh kepada Orang Tua


Orang tua terdiri atas ayah dan ibu. Dari pernikahan mereka lahirlah anak, yaitu “kita”. Mulai dari dalam kandungan lebih kurang selama sembilan bulan lamanya hingga kini besar, merekalah yang mengasuh, mem bimbing, memberi makanminum dan pakaian, mendidik, serta mengajari mengaji dan menyekolah kan. Dalam membesar kan anaknya, mereka meng hadapi berbagai masalah dalam kehidupan.  Maka dari Gambar diatas anak sedang menyapu sampah di dalam rumah memitu, mereka pun berdoa “ya Allah batu orang tuanya jadikanlah anakku ini orang sālih yang taat kepada-MU dan patuh kepada orang tuanya, serta berguna bagi bangsa dan negara”.  

Begitulah harapan ayah-ibu kita. Mereka tak pernah berhenti berdoa agar anaknya berperilaku sālih. Jasa mereka tidak akan pernah dapat dibalas. Oleh karena itu sudah sepantasnyalah kita sebagai anak menaruh hormat, setia, dan patuh kepada mereka. 

2. Hormat dan Patuh kepada Guru

Amati gambar tersebut


Ibu guru mengajak murid-muridnya bergotong royong. Mereka pun melakukannya secara bersama-sama. Setelah mereka selesai bekerja, ibu guru menyampaikan ucapan sebagai berikut. 
• Anak-anakku, terima kasih atas kepatuhan dan keikhlasan kalian telah ikut bergotong royong. Berarti kalian sudah mematuhi ajakan gurumu.
• Gotong royong dapat mempermudah dan memperingan pekerjaan.
• Anak yang hormat dan patuh tentu disayang Allah Swt.   

Mengapa Harus Hormat dan Patuh Kepada Guru?
Guru adalah pengganti orang tua di sekolah. Banyak hal  yang dapat kita peroleh dari guru, terutama mendapat ilmu pengetahuan dan keteladanan. Guru telah megajari dan membimbing kita beribadah dan membaca al-Qur’ān, berbahasa yang baik, berhitung, bergaul, mengenal lingkungan alam, serta mengenal seni dan sebagainya. Selain itu, ia juga mengasuh, membimbing, memperhatikan, dan menjaga muridnya selama berada di sekolah. Begitulah jasa mereka kepada kita. Sudah seharusnya kita bersikap setia, hormat dan patuh kepada mereka.

Contoh-contoh sikap hormat kepada guru:  berbicara dengan sikap  santun, berbahasa yang baik dan benar, rendah hati, tidak sombong dan tidak merasa lebih pintar.

Sikap Kebiasaanku: 
InsyaAllah aku selalu hormat dan patuh kepada orang tua dan guruku.

C. Indahnya Saling Menghargai

Semua manusia di dunia ini bermula dari Ādam a.s. Kemudian manusia berkembang, di antaranya adalah “kita”. Allah Swt. menciptakan manusia itu berbagai macam bentuk dan warna. Ada yang putih, ada yang hitam, tinggi, rendah, berambut keriting, dan berambut lurus, semua tidak ada yang serupa. Demikian pula kehidupan manusia, ada yang kaya, dan ada yang miskin. Bangsa Indonesia misalnya, terdiri dari beragam suku, agama dan adat istiadat. Lalu, bagaimana kita hidup ditengah-tengah keberagaman itu? Tentu saja kita harus saling menghargai.
Sikap saling menghargai antara lain sebagai berikut.

1.    Menghargai Pendirian Orang Lain
Di dalam agama Islam terdapat sedikit perbedaan dalam beribadah. Misalnya dalam ibadah salat subuh, ada yang melakukan doa qunūt dan ada yang tidak melakukannya. Semua itu tergantung pada pendirian masing-masing. Pendirian inilah yang harus kita hargai, karena semua ada tuntunannya. Yang terpenting adalah dilaksanakannya salat subuh sesuai dengan tutunan Islam yang diyakininya. Mereka yang ber-qunut dan yang tidak ber-qunūt tetap saja sah ¡alat Subuh-nya.
2.    Menghargai Keyakinan Orang Lain
Ahmad bertempat tinggal satu lingkungan dengan Stevanus. Mereka juga belajar di sekolah yang sama. Ahmad beragama Islam, sedangkan  Stevanus beragama Kristen. Dalam berteman mereka selalu rukun dan saling menghargai sekali pun berbeda agama. Pada hari Minggu pagi mereka selalu bermain bola dengan teman-temannya yang lain. Namun pada suatu pagi Stevanus menghampiri Ahmad dan minta maaf karena tidak dapat bermain bersamanya. Ayah Stevanus mengajaknya pergi ke Gereja. Ahmad tidak mempersoalkannya, dan  menghargai sikap Stevanus untuk pergi ke Gereja bersama ayahnya.    
3.    Menghargai Pendapat Orang Lain
Pada hari Selasa, siswa kelas lima belajar kelompok membahas tentang “Sikap anak terhadap orang tua, yaitu ayah dan ibu”. Siswa kelas lima dibagi menjadi lima kelompok. Kelompok satu dipimpin oleh Ahmad, sedangkan anggotanya adalah Iwan, Habibi, Dino, Ira, Nisa, dan Ilham.

Dalam belajar kelompok, masing-masing siswa mengemukakan pendapatnya tentang bagaimana seharusnya bersikap terhadap orang tua. Sebagai contoh dalam belajar kelompok yang dipimpin oleh Ahmad, Nisa mengatakan: “Harus ikut membantu pekerjaan rumah”. Habibi mengatakan: “Tidak boleh keluar rumah tanpa seijin orang tua. Dan Ilham mengatakan:“Di rumah tugasku hanya belajar saja’. Kemudian Iwan mengatakan: “Yang penting aku tidak boleh meninggalkan salat dan mengaji”. 
Ahmad sebagai pimpinan diskusi cukup bijaksana. Semua pendapat dihargai dan dihimpunnya secara tertulis. Kemudian ia mengajak teman-teman sekelompoknya merangkum berbagai pendapat tersebut. 

Sikap Kebiasaanku: 
InsyaAllah aku selalu menghargai orang lain.

Ayo Berlatih.
Kerjakan soal di link ini : https://forms.gle/ugR7mRyvwsdjWMmR6

0 Response to "PELAJARAN 3 : Cita-citaku Menjadi Anak yang Sālih "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel